MANUSIA & KEADILAN
Artikel 1
Nenek Nenek
Pencuri Kakao vs Koruptor
Sepertinya
kasus kasus yang beterbangan di negara ini benar-benar beraneka ragam dengan
keanehannya masing-masing. Seperti contohnya kasus yang baru saja terjadi di
daerah Banyumas, Jawa Tengah. Nasib sial menimpa seorang nenek nenek yang
ketahuan mencuri 3 biji kakao di daerah perkebunan yang akan dijadikan bibit
dan sekarang nasibnya terancam hukuman percobaan 1 bulan 15 hari.
Miris
juga ya peradaban hukum di negara ini. Memang yang namanya pencurian tetap
suatu kesalahan seberapapun besar kecilnya bila dipandang perlu ditindak
lanjuti silahkan saja. Hanya saja yang jadi tak berimbang di sini adalah,
seorang nenek nenek yang hanya mencuri 3 biji kakao harus berhadapan dengan
meja hijau tanpa di dampingi pengacara karena tidak adanya kemampuan finansial
untuk membayar jasa pengacara. Sementara koruptor a.k.a maling uang rakyat yang
bermilyar milyar bahkan trilyunan bebas berkeliaran tanpa penyelesaian yang
jelas.
Mafia
mafia peradilan, makelar makelar kasus bisa bebas berkeliaran dan hidup
bermewah mewah. Memang benar bahwa semua itu sebagai proses peringatan supaya
tidaklah menjadi contoh bagi yang lain dalam tindak pencurian. Tapi, apakah
proses peradilan yang seadil-adilnya bagi koruptor dan para mafia peradilan
tidak bisa ditegakkan seperti petugas hukum menindak tegas maling-maling ayam
dan maling-maling seperti Ibu Minah?
Masyarakat
sangatlah bisa menilai sendiri seperti apa wajah hukum di negara kita ini.
Ketimpangan yang terjadi di dunia hukum saat ini, seperti bergulirnya kasus
Bibit – Chandra yang terus berjalan dan belum menemukan titik temu yang jelas,
ditambah lagi saat ini sedang bergulir kasus Polisi vs Jurnalisme. Fiuh…kapan
ya peradilan di negara ini bisa berlaku adil tanpa mencari kambing hitam?
Opini:
Memang
terkadang manusia lupa akan tugasnya agar berlaku adil terhadap siapapun,
padahal di dunia ini harus serba seimbang, adil tanpa membedakan yg satu dengan
yang lain. Hak dan kewajiban yang di terima setiap manusia pun juga harus adil,
jangan hanya karena memiliki kekuasaan jadi berlaku tidak adil. Di negara
Indonesia ini masih banyak yang belum bisa berlaku adil, masih banyak yang
terpengaruh oleh kekuasaan, kenikmatan dan sebagainya sehingga melupakan mana
yang benar dan mana yang patut di salahkan.
Cara
untuk bersikap adil menurut saya harus di mulai dari diri sendiri dulu bisa
membedakan antara yang benar dan yang salah, kemudian jika ada sebuah masalah
maka sebaiknya di lihat secara obyektif jangan subyektif.
Artikel 2
Pelajar
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Palu, Sulawesi Tengah, AAL, diajukan
ke meja hijau karena dituduh mencuri sandal polisi Briptu Ahmad Rusdi Harahap.
Saat ini proses hukum sedang berjalan pengadilan dan jaksa mengancam hukuman 5
tahun penjara.
Kisah
ini bermula pada November 2010 ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra
di depan kost Briptu Ahmad Rusdi. Melihat ada sandal jepit, ia kemudian
mengambilnya. Suatu waktu pada Mei 2011, Polisi itu kemudian memanggil AAL dan
temannya. Menurut Briptu Ahmad, kawan-kawannya juga kehilangan sandal. AAL dan
temannya pun diinterogasi sampai kemudian AAL mengembalikan sandal itu. AAL
sempat dianiaya saat diintrogerasi.
Atas
penganiayaan ini, Polda Sulteng telah menghukum polisi penyaniaya AAL, Rabu
(28/12). Briptu Ahmad Rusdi dikenai sanksi tahanan 7 hari dan Briptu Simson J
Sipayang dihukum 21 hari.
Opini:
=Perlunya perbaikan moral terhadap
masyarakat dan penegak keadilan atau hukum. Karena dengan perbaikan modal ini
merupakan langkah utama dalam mengatasi
masalah keadilan.
=Turut andilnya pihak – pihak terkait yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman dalam pensosialisasian hukum ke masyarakat
awam yang tidak mengerti hukum itu akan sangat membantu, bahwa hukum menurut
pandangan mereka adalah suatu pembelajaran untuk menuju masyarakat yang lebih
tertib dan taat hukum.
Artikel
3
Studi Kasus Lumpur Lapindo)
Area yang
terkena dampak lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terlihat dari
udara, Kamis (5/3/2015). Sembilan tahun setelah semburan lumpur tersebut mulai
berlangsung, pembayaran ganti rugi terhadap warga yang terkena dampak dari
lumpur tersebut belum seluruhnya tuntas. Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA)
05-03-2015
Tulisan ini
mengkaji ketidakadilan Negara terhadap Rakyat, dalam kasus Lumpur Lapindo, Jawa
Timur. Indonesia adalah Negara yang besar karena telah mendapat legitimasi oleh seluruh dunia menjadi Negara
merdeka. Namun dalam kenyataannya bangsa ini belum sungguh –sungguh bebas
merdeka. Kita bisa lihat saja dari kasus Lumpur lapindo yang terjadi Jawa
Timur, seakan Negara menganak tirikan daerah tersebut. Karena sejak 29 mei 2006
hingga kini petaka Lumpur lapindo seakan masih menjadi kelabu bagi masyarakat
Jawa Timur dan sekitarnya. Pemerintah hanya sibuk menyelesaikan kasus – kasus
yang bertemakan korupsi, demokrasi, namun melupakan kebebasan rakyat seutuhnya.
Mereka lupa bahwa Negara wajib menciptakan kesejahterakan, keadilan bagi rakyat
sesuai dengah amanat Pancasila.
Namun hingga
akhir 2009 sudah sekitar Rp 4 triliun uang negara (APBN) tersedot untuk
menyelesaikan masalah Lumpur Lapindo. Kasus lumpur itu menjadi salah satu bukti
kedigdayaan Grup Bakrie, yang membuat hukum Negara ini lumpuh tak berdaya.
Semburan lumpur mengakibatkan beberapa dampak baik dari segi sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan hukum. Belum lagi kehancuran infrastruktur seperti rel
kereta api, jalan Tol Porong-Gempol yang merupakan nadi utama transportasi
ditutup secara permanen, dan jalan-jalan umum lainnya.
Dalam
beberapa kasus Walhi pernah mencoba mengajukan gugatan perdata kepada Lapindo
Brantas Inc, korporasi terkait kejadian ini. Namun Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menolak gugatan Walhi dengan alasan bahwa semburan lumpur Lapindo
terjadi karena bencana alam. Hakim menggunakan keterangan ahli yang diajukan
pihak Lapindo sebagai alat bukti, padahal keterangan ahli itu bukan alat bukti
dalam hukum acara perdata. Itu melanggar standar hukum pembuktian menurut Pasal
1886 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Pasal 164 Herzienne
Inlandsche Reglement (HIR). Kini, bola hukum perkara Lapindo tinggal ditangan
Komnas HAM. Tim Adhoc Pelanggaran HAM Berat dalam Kasus Lumpur Panas Lapindo
masih bekerja untuk menemukan alat bukti pelanggaran HAM berat perkara lumpur
itu, termasuk adanya unsur ”kesengajaan”.
Dalam
perkara ini, Lapindo dan pejabat yang memberi izin pengeboran gas bumi di Sumur
Banjar Panji-1 (BJP-1) Porong itu jelas sengaja melanggar hukum. Jarak sumur
pengeboran itu dengan permukiman penduduk terlalu dekat (menurut BPK, sekitar
lima meter). Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia Nomor 13-6910-2002
tentang Operasi Pengeboran Darat dan Lepas Pantai di Indonesia, sumur-sumur
pengeboran harus berjarak sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel
kereta api, perumahan, dan tempat-tempat lainnya. Pengeboran sumur BJP-1 juga
tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor
16 Tahun 2003). Peruntukan lokasi tanah Sumur BJP-1 tersebut adalah untuk
kegiatan industri non kawasan,bukan untuk pertambangan.
Penanganan
semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, hingga tertanggal 30 Mei 2010
sudah mencapai Rp4,3 triliun. Namun pemerintah masih akan menggelontorkan dana
untuk penanganan lumpur hingga 2014 nanti sebesar Rp11,5 triliun. Membengkaknya
dana rakyat untuk penanganan lumpur Lapindo itu tertuang dalam dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Dalam dokumen tersebut, pemerinah akan
menggelontorkan lagi dana untuk penanganan lumpur Lapindo sebesar Rp7,2
triliun, untuk tahun 2011 hingga 2014 mendatang. Anggaran tersebut akan
dialokasikan ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menangani
semburan lumpur, penanganan sosial dan infrastruktur. Pembangunan relokasi
infrastruktur meliputi pembangunan jalan arteri porong, jalan tol dan jalur rel
kereta api. Sehingga dana yang digunakan utuk penanganan lumpur Lapindo mencapai
Rp11,5 triliun, karena pada tahun 2007 hingga 2010 pemerintah sudah
menggelontorkan anggaran Rp4,3 triliun.
Semburan
lumpur ini telah menenggelamkan 12 desa, 24 pabrik, dan memaksa lebih dari 30
ribu warga terusir dari rumah mereka. Namun, didalam pengelolaan penanganan
lumpur ini dinilai kurang transparan. Jumlah uang dinilai tidak sebanding
dengan upaya penanganan yang dilakukan BPLS. Volume lumpur yang saat ini
tertampung di kolam penampungan seluas 620 hektare sudah mencapai 12 juta meter
kubik. Upaya pembelian kapal keruk dan mesin pompa untuk mengalirkan lumpur ke
Kali Porong sulit dilakukan. Demikian pula dengan pembangunan relokasi
infrastruktur ternyata juga tersendat karena terkendala pembebasan lahan.
Pembayaran
ganti rugi kepada para korban semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di tiga
desa, yakni Pejarakan, Kedungcangkrin dan Besuki, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur, sampai saat ini masih tersendat. Sesuai Perpres Nomor 48 Tahun 2008,
tiga desa tersebut ditetapkan masuk peta terdampak II dan pembayaran atas aset
warga yang terkena lumpur menjadi tanggungan pemerintah. Model pembayaran yang
ditetapkan kepada korban di tiga desa tersebut menggunakan skema pembayaran
yaitu uang muka 20 persen dan 80 persen sisanya dibayar secara mencicil. Sama
persis dengan skema yang dipakai PT Minarak Lapindo Jaya pada 2008.
Pemerintah telah mengucurkan dana
sekitar Rp 102 miliar untuk membayar uang muka 20 persen bagi warga di tiga
desa tersebut. Kemudian pada 2009 pemerintah mengucurkan dana sekitar Rp 160
miliar lagi untuk membayar angsuran sisanya. Sejak 2007 pemerintah telah
mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan lumpur Lapindo sekitar Rp 1,2
triliun per tahun. Namun penyerapan anggaran itu masih terbilang kecil, cuma
sekitar 50-60 persen. Hal itu karena sebagian besar anggaran untuk keperluan
relokasi infrastruktur. Dan, sampai sekarang relokasi infrastruktur masih
tersendat-sendat pelaksanaannya.
Opini:
Menurut teori Marx Weber
hukum itu dipengaruhi salah satunya oleh politik. Kita sama –sama tahu bahwa
perusahaan yang mengakibatkan Lumpur ini pemiliknya adalah Aburizal Bakrie
(Ical) yang memliki tugas baru yaitu Ketua Harian Sekber (Sekretariat Bersama
). Memang Pembentukan Sekretariat Bersama (Sekber) Koalisi ini menuai beragam
kritik. Karena kewibawaan SBY sudah diambil setengahnya oleh Ketua Harian
Sekber Koalisi. Sekber memiliki peluang besar untuk mengendalikan pemerintahan.
Hal tersebut karena posisi kuat yang dimiliki oleh Ketua Golkar dalam struktur
Sekber Partai Koalisi. Seakan – akan Aburizal Bakrie (Ical) mampu menunggangi
pemerintah ini dengan berbagai cara apapun.
Negara ini seakan tidak mampu mengatasi
masalah Lumpur Lapindo milik Aburizal Bakrie (Ical), pemerintah hanya sekedar
menggertak saja namun dalam kenyataannya masih ada masyarakat yang terkena
Lumpur Lapindo ini yang belum menerima ganti rugi secara adil. Bila ditelaah
dengan konsep hukum maka kasus ini sesuai dengan Mahzab Formalistis ( Jhon
Austis) yang mengatakan bahwa hukum dibuat untuk kepentingan penguasa dan atas
pemeritah sehingga rasa tidak diperhatikan. Dalam kasus Lumpur Lapindo ini kita
bisa menggunakan teori konflik. Menurut Dahrendorf konflik adalah kelompok semu
yaitu para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan. Kelompok
kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota
yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya
konflik dalam masyarakat. Tidak hanya itu, Dahrendorf mencoba mencontohkan.
Dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari dua kelompok, yaitu pemegang otoritas
(superordinan) dan kelompok yang dikuasai (subordinan).
Dalam kasus Lumpur lapindo, superordinan
adalah perusahaan Lapindo, sedangkan subordinan adalah masyarakat sidoarjo dan
sekitarnya. Dengan kepentingan dan kekuasaanya kelompok superordinan yang
dikelompoki oleh para pengusaha ingin mencoba menguasai daerah tersebut namun
masyarakat setempat yang tidak memiliki kekuatan penuh mencoba berontak dan itu
semua akan menimbulkan sebuah konflik. Menurut dahrendorf pula, kepentingan
selalu memiliki suatu harapan-harapan. Dalam hal ini perusaahaan Lapindo
memegang peran demi keuntungan perusahaan sebagai suatu keseluruhan dan dalam
kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Ada asumsi yang mengatakan bahwa
konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang
muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Di dalam pengamatan penulis, kasus Lumpur
Lapindo ini ditekankan oleh perusahaan Lapindo yaitu sistem jual beli,
seharusnya adalah ganti rugi. Jadi bila hasil kesepatan jual beli itu lebih
kepada negosiasi yang sifatnya memaksa. Para korban pun hanya bisa menerima
nasib yang tidak wajar oleh para penguasa kepentingan. Negara pun tak bisa
berbuat banyak karena dari awal Negara tidak bersikap tegas kepada perusahaan
Aburizal Bakrie (Ical). Padahal Presiden kita itu dipilih langsung oleh rakyat
dengan kemenangan 60 % namun tidak bisa tegas.
Memang konflik yang terjadi dalam kasus
Lumpur Lapindo ini adalah konflik yang realistik yaitu terlihat atau nyata. Di
mana benar –benar kasus ini adalah kasus besar yang mungkin bisa melebihi kasus
Bank Centuri yang beberapa bulan yang lalu sempat menghebohkan masyarakat
Indonesia. Karena kasus Lumpur Lapindo ini menyangkut hajat orang banyak,
dengan bencana seperti ini segala aktivitas terasa tersendat. Seharusnya hukum
di Indonesia itu harus ditegakkan, tidak ada tebang pilih dalam memberlakukan
hukum. Setiap yang bersalah haruslah di hukum sesuai aturan yang berlaku.
Jangan rakyat ini di bohongi oleh kebijakan atau aturan main para pengusasa
yang selalu haus akan kekuasaan.
Di sela memperingati empat tahunnya bencana
Lumpur Lapindo. Ratusan korban lumpur Lapindo menggelar aksi teatrikal dengan
membawa patung bergambar Aburizal Bakrie sebagai bentuk refleksi peringatan
empat tahun luapan lumpur Lapindo. Dalam aksi tersebut warga juga meminta
kepada pemerintah dan Lapindo bertanggung jawab atas terjadinya perstiwa luapan
lumpur panas sejak 29 Mei 2006. Mereka meminta supaya percepatan ganti rugi
terhadap korban lumpur ini segara dilunasi dan warga bisa segera menempati
rumah baru.
Ada fenomena menarik, yaitu munculnya
Yuniwati Teryana, Wakil Presiden Direktur Lapindo Brantas Inc, perusahaan
penanggung jawab kasus lumpur Lapindo sebagai calon bupati Sidoarjo. Wiwid
Suwandi, petinggi perusahaan yang sama, juga muncul sebagai calon bupati. Apa
makna kemunculan mereka sebagai calon bupati Sidoarjo? Apakah warga Sidoarjo
telah melupakan kasus Lapindo?. Memang kekuasaan politik di Negeri ini telah
melebur menjadi satu, yaitu monarki. Seakan para pengusaha mampu mengusai
koalisi pemerintah dengan asas kebersamaan.
Artikel 4
Pecat Aparat yang Lindungi Perbudakan
Buruh!
JAKARTA, KOMPAS.com —
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Martin Hutabarat mendesak Kepolisian RI
untuk mengusut dugaan keterlibatan Polri dalam kasus perbudakan 34 buruh di
pabrik kuali, di Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang. Jika
ternyata terbukti melindungi praktik itu, aparat kepolisian yang bersangkutan
patut diberhentikan dari Polri.
"Polri harus
bertindak tegas. Polri tidak boleh melindungi atau setengah hati menindaknya.
Kapolri perlu memerintahkan agar oknum polisi yang ikut menganiaya para pekerja
yang menjadi korban perbudakan itu segera diusut, kalau perlu
diberhentikan," ujar Martin di Jakarta, Senin (6/5/2013).
Martin menjelaskan, jika
ada oknum pejabat Polri di wilayah yang justru mendapatkan upeti, maka oknum
Polri itu juga harus ditindak. Pasalnya, sikap melindungi yang dilakukan Polri,
kata Martin, bisa mengusik rasa keadilan masyarakat.
"Perbuatan yang
dilakukan oknum-oknum polisi tersebut sangat biadab dan tidak dapat diterima
akal sehat. Rasa keadilan masyarakat terusik karena perbuatan mereka. Kapolri
perlu mengusut mereka juga, dan jangan sampai ada kejadian seperti ini di
tempat lain," tukas anggota Komisi III DPR ini.
Pada Jumat (3/5/2013),
Polda Metro Jaya dan Polres Kota Tangerang menggerebek sebuah pabrik kuali yang
bosnya dicurigai telah melakukan penyekapan terhadap 34 buruh di Desa Lebak
Wangi, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang. Di pabrik itu, pengusaha diduga
telah merampas kemerdekaan sekaligus melakukan penganiayaan terhadap para
buruh.
Temuan Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), para buruh itu setiap harinya
hanya diberikan makanan sambal dan tempe, jam kerja melampaui batas, dan
diberikan tempat tinggal yang tak layak. Mereka juga diancam ditembak dengan
timah panas oleh aparat yang diduga dibayar oleh pengusaha di sana.
Polisi telah menetapkan
tujuh orang tersangka yakni Yuki Irawan (41), Sudirman (34), Nurdin (34), Jaya
alias Mandor (41), dan tangan kanan Yuki, Tedi Sukarno (34). Sementara itu, dua
orang lain, Tio dan Jack, buron. Para tersangka dikenakan Pasal 333 KUHP
tentang Perampasan Kemerdekaan dan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan. Hal itu
dilihat dari beberapa temuan, antara lain pemilik pabrik tak membayar gaji
sebagian buruh, pemilik pabrik juga tak memberikan fasilitas hidup yang layak,
tak membiarkan buruh melakukan shalat, serta melakukan penganiayaan terhadap
buruh.
Kini, kelima tersangka
ditahan dan diperiksa di Polresta Tangerang. Sebanyak 34 buruh yang dibebaskan
dari pabrik tersebut dipulangkan ke kampung masing-masing.
Opini:
Tanggapan saya pada
contoh kasus ini adalah prihatin kepada orang-orang yang seharusnya memegang
keamanan, menjadi contoh dan panutan di Negara ini malah melakukan pelanggaran,
yakni Polri. Pada dasarnya tugas Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban
dimasyarakat, mentaati semua aturan yang berlaku, melindungi, mengayomi, dan
melayani masyarakat. Tetapi, pada contoh kasus diatas, diduga ada oknum polisi
yang melindungi praktik penyekapan dan perbudakan terhadap buruh diTanggerang
tersebut. Jika ternyata terbukti melindungi praktik itu, aparat kepolisian yang
bersangkutan patut diberhentikan dari Polri.
Dan jika ada oknum polisi
yang diduga menyiksa para buruh tersebut seharusnya segera diusut secepat
mungkin. Karena walaupun seorang oknum polisi yang ikut terlibat, keadilan
diNegara ini harus ditegakkan. Jika tidak ada keadilan, Negara ini akan cepat
runtuh. Dan walaupun seorang pejabat yang menjadi tersangka sekalipun, keadilan
juga harus tetap ditegakkan dengan cara memberikan sanksi kepada yang bersalah
sesuai dengan apa yang dilakukannya. Tindakan oknum polisi ini sangat tidak
pantas dicontoh dalam kehidupan masyarakat.
Artikel 5
Tenaga Kerja Indonesia dalam
Perspektif Kemanusiaan
Permasalahan TKI (Tenaga
Kerja Indonesia) bukan merupakan hal baru bagi bangsa Indonesia. Selama 35
tahun ini, permasalahan TKI tidak mengalami perkembangan yang berarti. Dari
tahun ke tahun persoalan tenaga kerja Indonesia di luar negeri bagai benang
kusut bagi pemerintah. Pemerintah sendiri tidak bisa mencegah keberangkatan
mereka ke luar negeri, karena memang di negeri sendiri lapangan kerja yang
tersedia sangat terbatas.
Menurut data Badan Pusat
Statistik atau BPS, jumlah orang miskin di Indonesia hingga Maret 2011 adalah
30 juta atau 12,40 persen dari seluruh penduduk. Kemiskinan ini pula yang
menjadi salah satu alasan warga miskin
untuk menjadi buruh migran atau TKI maupun TKW di luar negeri.
Untuk kawasan Timur
Tengah, Arab Saudi merupakan negara paling banyak menerima tenaga kerja asal
Indonesia. Setelah itu disusul Emirat Arab dan Kuwait. Sedangkan untuk kawasan
Asia Pasifik, kebanyakan tenaga kerja Indonesia bekerja di Malaysia dan
Singapura. Namun layaknya nasib tenaga kerja di negara lain, tenaga kerja
Indonesia di negeri itu pun kerap mengalami nasib buruk.
Beberapa contoh kasus TKI
yang ramai dibicarakan adalah kasus Suyati dan Darsem yang mendapat hukuman
mati di Arab Saudi. Memang TKI yang bekerja di sektor rumah tangga sering kali
mengalami nasib yang menyedihkan, mereka disiksa, dibunuh bahkan mengalami
pelecehan seksual dari sang majikan. Sudah banyak kasus penyiksaan yang menimpa
para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tidak terdapat perubahan atas berbagai kasus
sebelumnya yang terjadi, justru belakangan kasus penyiksaan buruh migran
semakin meningkat. Sebenarnya hal ini bertentangan dengan sila kedua pancasila
tentang kemanusiaan dan hak asasi manusia. Oleh karena itu peran pemerintah dan
masyarakat sangat diperluan dalam menangani kasus-kasus yang menimpa warga
negara kita di luar negeri.
Kasus-kasus TKI di luar negeri
Seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan penambahan lapangan
pekerjaan, banyak penduduk Indonesia pergi mencari peruntungan di negeri
seberang. Untuk kawasan Timur Tengah, Arab Saudi merupakan negara paling banyak
menerima tenaga kerja asal Indonesia. Setelah itu disusul Emirat Arab dan
Kuwait. Sedangkan untuk kawasan Asia Pasifik, kebanyakan tenaga kerja Indonesia
bekerja di Malaysia dan Singapura.
Namun layaknya nasib
tenaga kerja di negara lain, tenaga kerja Indonesia di negeri itu pun kerap
mengalami nasib buruk. Di Malaysia, TKI disebut Indon, suatu sebutan yang
sangat merendahkan bangsa Indonesia. Di
Arab Saudi, para TKW dianggap sebagai budak, bahkan dianggap sebagai perempuan
murahan yang bisa diperlakukan apa saja.
Ruyati salah seorang
pekerja migran dari Indonesia dihukum pancung pada Sabtu (18/6/2011). Ia
mendapatkan hukuman tersebut karena membunuh majikannya, seorang wanita Arab
Saudi bernama Khairiya binti Hamid Mijlid. Pada pertengahan tahun 2010, Ruyati
membunuh majikannya dengan pisau dapur. Dia mengakui hal tersebut saat disidang
di pengadilan. Pengadilan Syariah Arab Saudi kemudian memutuskan hukuman mati
untuknya. Lebih tragis lagi, pihak Arab Saudi tidak memberitahukan mengenai
kapan pelaksanaan eksekusi tersebut. Akibatnya, Pemerintah Indonesia tidak bisa
berbuat apa-apa hingga hari eksekusi Ruyati.
Kasus lain yang sempat
ramai dibicarakan datang dari Darsem TKW yang berangkat ke Saudi sejak Agustus
2006. Darsem juga divonis hukuman pancung oleh pengadilan disana. Dia didakwa
membunuh saudara majikannya. Padahal, perbuatan tersebut dilakukan Darsem untuk
membela diri karena nyaris diperkosa. Belajar dari kasus Ruyati, pemerintah
lantas berupaya mencari celah agar Darsem lolos dari hukuman pancung. Akhirnya
celah hukum pun ditemukan. Darsem bisa lolos dari hukuman mati dengan membayar
diyat (denda) 2 juta riyal (sekitar Rp 4,7 miliar).
Kementerian Luar Negeri
mengungkapkan, selain Ruyati binti Satubi yang sudah dieksekusi di Arab Saudi,
terdapat 303 Warga Negara Indonesia yang terancam hukuman mati sejak tahun 1999
hingga 2011. Dari 303 orang, tiga orang telah dieksekusi, dua orang dicabut
nyawanya di Arab Saudi, dan satu orang di Mesir. Malaysia menjadi negara yang
memiliki daftar kasus WNI terancam hukuman mati terbanyak dengan jumlah 233
TKI. China berada di peringkat kedua dengan 29 orang TKI, dan Arab Saudi berada
di peringkat ketiga dengan 28 orang TKI.
Berdasarkan data Kemenlu,
narkoba menjadi faktor penyebab terbanyak TKI diancam hukuman mati–ada 209
kasus. Sedangkan membunuh berada di peringkat kedua dengan 85 kasus. Jika diurut berdasarkan negara, di Arab Saudi
kasus pembunuhan menjadi penyebab utama TKI terancam hukuman mati. Ada 22 kasus
pembunuhan yang didakwakan kepada TKI.
Dalam catatan
Kemnakertrans, hingga akhir 2011, kasus TKI di Kerajaan Saudi Arabia menduduki
peringkat tertinggi dibandingkan negara penempatan TKI lainnya dengan jumlah
sebanyak 10.393 kasus, dengan permasalahan kasus di antaranya gaji tidak
dibayar, penyiksaan/kekerasan fisik, pelecehan seksual, beban kerja tidak
sesuai, sakit dan lain-lain.
Opini:
Kasus penyiksaan dan
eksekusi hukum yang dialami TKI dan TKW kita di luar negeri sangat
memprihatinkan. Terjadinya kasus ini menunjukkan bahwa regulasi yang
diberlakukan pemerintah kurang menjamin keselamatan para TKI dan TKW yang
berada di luar negeri. Sehingga diperlukan regulasi yang lebih mampu memberikan
keamanan kepada para pahlawan devisa ini. Sebagaimana amanat Pancasila sila
kedua kemanusiaan yang adil dan beradab, perlindungan TKI atas penyiksaan
merupakan pelaksanaan sebagian butir-butir dari sila kedua. Selain dengan
membuat regulasi yang kuat, penambahan lapangan pekerjaan di Indonesia
merupakan salah satu solusi untuk mengurangi TKI dan TKW ke luar negeri. Namun
tentu peran aktif setiap warga negara untuk bergandengan tangan menangani
masalah akan membuat beban semakin ringan
a. Keadilan legal atau keadilan moral
tugas pemerintah untuk
dapat menyediakan lapangan kerja untuk warganya dimana sesuai dengan amanat
pancasila sila 5 yaitu keadilan bagi seluruh rakyat indonesia, dimana setiap
warga berhak mendapatkan keadilan sebagai warga negara dan kesejahteraan yang
layak agar tidak adanya warganya yang bekerja jauh dari tanah air nya.
b. Keadilan distributive
lagi-lagi ini adalah
tugas dari pemerintah khususnya didalam departemen ketanagakerjaan dimana
pengawasan terhadap tenaga-tenaga kerja Indonesia adalah salah satu tugas dari
jajaran tersebut, dibutuhkannya regulasi yang kuat dari pemerintah
sehingga mampu menjamin keselamatan para
tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
c. keadilan komutatif
perlunya regulasi yang
kuat tersebut selain untuk menjamin keselamatan tenaga kerja Indonesia diluar
negeri,juga sebagai ketertiban dan kesejahteraan umum,maksud dari ketertiban
tersebut adalah minimnya TKI dan TKW yang illegal sedangkan untuk kesejahteraan
umum adalah dimana tenaga kerja Indonesia adalah sebagai salah satu penyumbang
besar bagi devisa Negara selayaknya mereka-meraka juga dapat diperlakukan
sebagai pahlawan disaat mereka-mereka kembali ketanah airnya.
Comments
Post a Comment