Kebudayaan beserta filosofi
RUMAH
KEBAYA BETAWI
PROVINSI
DKI JAKARTA
Sebutan Rumah Kebaya dikarenakan
bentuk atapnya yang menyerupai pelana yang dilipat dan bila dilihat dari
samping lipatan-lipatan tersebut terlihat seperti lipatan kebaya.
Rumah Kebaya terbagi menjadi tiga
bagian:
1. Area Umum (Depan)
Rumah kebaya dikelilingi oleh pagar kayu atau Langkan dan identik dengan teras yang luas dan dilengkapi kursi bale-bale dari rotan, bambu, atau kayu jati yang disebut Amben. Lantai teras diberi nama Gejogan, yang memiliki simbol penghormatan kepada tamu. Bagi masyarakat Betawi, Gejogan ini dianggap sakral atau kramat karena berhubungan langsung dengan tangga masuk bernama Balaksuji, penghubung rumah dengan area luar. Balak artinya bencana sedangkan Suji artinya penyejuk. Balaksuji dapat diartikan sebagai “penyejuk” yang menghalangi bencana memasuki kehidupan penghuninya. Selain jadi tempat bersantai keluarga, teras dimanfaatkan untuk menerima tamu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam membuat hunian, suku Betawi selalu berpegang pada konsep kekeluargaan, keterbukaan, keramahan, serta hubungan sesama warga yang harmonis.
Rumah kebaya dikelilingi oleh pagar kayu atau Langkan dan identik dengan teras yang luas dan dilengkapi kursi bale-bale dari rotan, bambu, atau kayu jati yang disebut Amben. Lantai teras diberi nama Gejogan, yang memiliki simbol penghormatan kepada tamu. Bagi masyarakat Betawi, Gejogan ini dianggap sakral atau kramat karena berhubungan langsung dengan tangga masuk bernama Balaksuji, penghubung rumah dengan area luar. Balak artinya bencana sedangkan Suji artinya penyejuk. Balaksuji dapat diartikan sebagai “penyejuk” yang menghalangi bencana memasuki kehidupan penghuninya. Selain jadi tempat bersantai keluarga, teras dimanfaatkan untuk menerima tamu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam membuat hunian, suku Betawi selalu berpegang pada konsep kekeluargaan, keterbukaan, keramahan, serta hubungan sesama warga yang harmonis.
2. Area Pribadi (Tengah)
Area pribadi ini terletak di bagian tengah yang terbagi dua bagian, Pangkeng dan ruang tidur. Umumnya setiap Rumah Kebaya memiliki ruang tidur sekitar 4 kamar dan kamar tamu atau Paseban yang didesain indah dengan ukiran. Bila kosong, Paseban biasanya dimanfaatkan sebagai mushola. Selain itu ada ruang keluarga yang biasa disebut Pangkeng. Ruang ini biasanya digunakan untuk berkumpul santai bersama keluarga di malam hari. Dinding Rumah Kebaya terbuat dari panel-panel yang dapat digeser dan dibuka. Tujuannya agar rumah terasa lebih luas dan lebih sejuk karena sirkulasi udara lancar. Lantai Rumah Kebaya biasanya lebih tinggi sedikit dari dasar tanah agar air tidak masuk ke dalam.
Area pribadi ini terletak di bagian tengah yang terbagi dua bagian, Pangkeng dan ruang tidur. Umumnya setiap Rumah Kebaya memiliki ruang tidur sekitar 4 kamar dan kamar tamu atau Paseban yang didesain indah dengan ukiran. Bila kosong, Paseban biasanya dimanfaatkan sebagai mushola. Selain itu ada ruang keluarga yang biasa disebut Pangkeng. Ruang ini biasanya digunakan untuk berkumpul santai bersama keluarga di malam hari. Dinding Rumah Kebaya terbuat dari panel-panel yang dapat digeser dan dibuka. Tujuannya agar rumah terasa lebih luas dan lebih sejuk karena sirkulasi udara lancar. Lantai Rumah Kebaya biasanya lebih tinggi sedikit dari dasar tanah agar air tidak masuk ke dalam.
3. Area Servis (Belakang)
Area yang terletak di bagian belakang yang biasanya digunakan untuk dapur atau Srondoyan. Bagian belakang rumah digunakan untuk kegiatan memasak dan biasanya juga tersedia ruang makan. Kamar mandi, pekarangan, dan gudang pun berada di area ini.
Area yang terletak di bagian belakang yang biasanya digunakan untuk dapur atau Srondoyan. Bagian belakang rumah digunakan untuk kegiatan memasak dan biasanya juga tersedia ruang makan. Kamar mandi, pekarangan, dan gudang pun berada di area ini.
Keunikan rumah kebaya bukan hanya
terletak pada konstruksi bangunannya saja. Pintu, jendela dan pagarnya pun
memiliki bentuk yang menarik disertai bermacam ornamen etnik. Seperti pintu
yang terdiri dari dua daun pintu yang berukuran besar, jendela intip dan
jendela bulat.
Hampir setiap sudut Rumah Kebaya
dipenuhi dengan ornamen Gigi Balang dan Banji. Gigi Balang yang terpengaruh
kebudayaan Melayu ini adalah papan kayu yang berjejer berbentuk segitiga yang
diletakkan di atap rumah. Gigi Balang sebagai simbol suku Betawi yang konsisten
menjalani kehidupan dengan memegang teguh kejujuran, kerja keras, rajin, dan
sabar seperti belalang yang mampu mematahkan kayu walaupun membutuhkan waktu
lama.
Sementara Banji berbentuk segi
empat, pengembangan dari ornamen dasar swastika yang dipengaruhi kebudayaan
Hindu. Ornamen ini memiliki makna sebagai sumber kehidupan dan terang.
Diharapkan penghuni rumah memiliki pola pikir dan jiwa raga yang terang agar
menjadi panutan bagi penghuni sekitarnya.
Meski kini sulit menemukan Rumah
Kebaya yang masih otentik di Jakarta, Anda tetap bisa mengambil inspirasi
kearifan lokalnya dan mengaplikasikannya elemen-elemennya dalam hunian Anda.
SENJATA
TRADISIONAL KERIS
DIY
YOGYAKARTA
JAWA
TENGAH
Kata ini dapat kita
jarwa dosok-kan ke dalam dua suku kata sebagaimana yang dijabarkan berikut ini. Ke … dari asal kata … kekeran, yang mempunyai arti; pagar,
penghalang, peringatan atau pengendalian. Ris …
dari asal kata …. aris, yang mempunyai arti ; tenang, lambat atau halus.
Dengan berlandaskan pada
penjabaran tersebut di atas, Sang mPu sebagai pembuat keris tersebut
menginginkan agar hasil karyanya itu selalu dapat “ngeker” atau memagari dan
menghalangi maupun memperingatkan juga mengendalikan sang pemilik secara “aris”
atau tenang dan lambat-sabar. Artinya walaupun kita mempunyai kepandaian,
kekayaan dan sejenisnya, hendaknya kita tidak “grusa-grusu” atau
tergesa-gesa untuk memamerkannya pada orang lain, agar dirinya tenar dan
diketahui oleh semua orang bahwa dia mempunyai kelebihan.
1. Warangka
atau Rangka
Filosofi keris Jawa yang pertama, ialah warangka, rangka
atau sarung keris merupakan bagian (kelengkapan) keris yang memiliki fungsi
tertentu. Dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, bagian warangka inilah yang
secara langsung dilihat oleh khalayak umum. Oleh karenanya, warangka ini sering
dijadikan indikator status sosial dari pemegangnya.
Dari
Warangka ini, kita bisa menarik pelajaran agar selalu merias diri saat ingin
keluar rumah. Bagaimanapun juga, seseorang yang terlihat rapi lebih dihargai
dimanapun ia berada. Tak perlu menggunakan aksesoris yang berlebih, asalkan
rapih kita akan lebih berwibawa.
2. Wilah
Wilah atau wilahan merupakan bagian utama dari sebuah
keris, dan juga terdiri dari bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap
wilahan. Wilahan ini biasa disebut dapur. Namun penamaan ragam bentuk pada
wilah-bilah terbagi lagi menjadi banyak nama.
Di bagian
Wilah ini, biasanya diletakan corak-corak tersendiri oleh sang pengrajin yang
berfungsi untuk membedakan ataupun mengistimewakan antara keris yang satu
dengan keris yang lain. Bagi sang pengrajin, proses pengerjaanya membutuhkan
ketelitian tersendiri agar menghasilkan wilah yang presisi.
Ketelitian
tersebut tentunya menginspirasi kita agar hidup dengan lebih teliti. Di dunia
ini, banyak sekali perkara perkara yang samar dan menggoda kita untuk berbelok
dari hukum yang sudah digariskan oleh sang pencipta.
Dalam
filosofi keris Jawa yang kedua ini, ada pesan tersendiri yang bisa kita
teladani. Yakni, jangan sampai kita merasa sedang melakukan perbaikan, tapi
sebenarnya kita sedang melakukan kerusakan yang dapat membinasakan diri kita
sendiri dimata sang pencipta dan dimata manusia.
3. Luk
Luk merupakan bagian dari keris yang bentuknya berkelok dari
wilah-bilah keris. Dan bila dilihat dengan seksama, bentuknya bisa dibagi
kedalam dua golongan besar. Yakni keris yang memiliki Luk lurus serta keris
yang bilahnya agak berkelok-kelok atau luk. Masing-masing jenisnya memiliki
ciri khas. Sehingga bisa dengan mudah dikenali, dan digunakan oleh para
pemakainya.
Begitu juga
dengan manusia. Filosofi keris Jawa yang terakhir ini mengajarkan kita agar
seharusnya memiliki ciri khas tersendiri. Salah satunya, dengan menempuh
pendidikan, sertifikat, gelar di universitas ataupun sebagainya.
Bila kita sudah memiliki ciri khas tadi, kita akan lebih
mudah mengabdikan diri kita untuk masyarakat, mencari pekerjaan yang halal, dan
dapat berkompetisi secara sehat di dunia pekerjaan.
BATIK PARANG SOLO
JAWA TENGAH
Motif batik
parang pada dasarnya tergolong sederhana, berupa lilitan
leter S yang jalin-menjalin membentuk garis diagonal dengan kemiringan 45
derajat. Namun, filosofi yang terkandung di dalamnya tidak sesederhana
motifnya. Ada ajaran-ajaran keutamaan yang terkandung di dalamnya.
Parang berasal dari kata pereng, yang berarti lereng. Perengan menggambarkan sebuah garis menurun dari tinggi ke rendah secara diagonal. Susunan motif leter S jalin-menjalin tidak terputus melambangkan kesinambungan. Bentuk dasar leter S diambil dari ombak samudra yang menggambarkan semangat tidak pernah padam.
Motif ini merupakan salah satu motif dasar yang paling tua. Di masa lalu, motif parang sangat dikeramatkan dan hanya dipakai oleh kalangan tertentu, serta dalam acara-acara tertentu saja. Misalnya, digunakan oleh senapati keraton yang pulang dari berperang dengan membawa kemenangan. Batik parang digunakan untuk memberi kabar gembira kepada raja.
Perkembangan dewasa ini, motif parang mengalami banyak modifikasi, stilasi, atau bahkan penggabungan dengan motif lain sehingga menghasilkan motif baru yang tak kalah menarik
.Parang berasal dari kata pereng, yang berarti lereng. Perengan menggambarkan sebuah garis menurun dari tinggi ke rendah secara diagonal. Susunan motif leter S jalin-menjalin tidak terputus melambangkan kesinambungan. Bentuk dasar leter S diambil dari ombak samudra yang menggambarkan semangat tidak pernah padam.
Motif ini merupakan salah satu motif dasar yang paling tua. Di masa lalu, motif parang sangat dikeramatkan dan hanya dipakai oleh kalangan tertentu, serta dalam acara-acara tertentu saja. Misalnya, digunakan oleh senapati keraton yang pulang dari berperang dengan membawa kemenangan. Batik parang digunakan untuk memberi kabar gembira kepada raja.
Perkembangan dewasa ini, motif parang mengalami banyak modifikasi, stilasi, atau bahkan penggabungan dengan motif lain sehingga menghasilkan motif baru yang tak kalah menarik
Filosofi Batik Parang
Batik parang memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi berupa petuah agar tidak pernah menyerah sebagaimana ombak laut yang tak pernah berhenti bergerak. Batik parang pun menggambarkan jalinan yang tidak pernah putus, baik itu dalam arti upaya memperbaiki diri, upaya memperjuangkan kesejahteraan, maupun bentuk pertalian keluarga di mana batik parang di masa lalu merupakan hadiah dari bangsawan kepada anak-anaknya.
Dalam konteks tersebut, motif parang mengandung petuah dari orang tua agar melanjutkan perjuangan yang telah dirintis. Garis lurus diagonal melambangkan rasa hormat dan keteladanan, serta kesetiaan pada nilai-nilai kebenaran.
Aura dinamis dalam motif ini juga menganjurkan kecekatan, kesigapan, dan kesinambungan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Artinya, tidak ada kata berhenti. Begitu menyelesaikan satu pekerjaan, segeralah berlanjut kepada pekerjaan berikutnya.
Batik parang biasa digunakan dalam upacara pelantikan. Misalnya seorang senapati yang hendak berangkatperang, dilantik oleh raja di pendopo atau alun-alun, dengan harapan pulang membawa kemenangan. Dewasa ini, motif parang digunakan dalam wisuda sarjana, penganugerahan bintang tanda jasa atau penghargaan dalam lomba.
Motif parang juga sering ditemukan dalam dunia pendidikan dalam bentuk kover buku, seragam, piala, dan sebagainya karena secara ekspilisit motif parang juga memiliki makna kecerdasan.
Sangat jarang motif parang digunakan untuk menghadiri upacara pernikahan. Apalagi digunakan sebagai busana pengantin. Kalangan masyarakat Jawa menganggap, menggunakan motif parang sebagai busana pernikahan akan menyebabkan rumahtangganya nanti dipenuhi percekcokan.
Dalam acara semacam ini biasanya digunakan motif lain seperti motif semen yang mengandung arti kesuburan, atau motif truntum dan kawung yang mengandung makna kebijaksanaan, motif sidomukti, sidoasih, atau sidoluhur dan sejenisnya yang mengambil motif sulur-suluran.
Jenis-Jenis Batik Parang
Motif batik parang sudah dikenal sejak zaman awal Keraton Mataram Kartasura. Pada saat itu, misalnya, terdapat motif parang rusak, parang barong, parang rusak barong, parangkusumo, parang pamor, parang klithik, parang slobog, dan sebagainya.
Beberapa yang bisa dikenali falsafah yang terkandung di dalamnya, misalnya:
a. Parang rusak
Motif ini merupakan motif batik yang diciptakan Panembahan Senopati saat bertapa di Pantai Selatan. Terinspirasi dari ombak yang tidak pernah lelah menghantam karang pantai.
b. Parang barong
Adalah motif parang yang ukuran motifnya lebih besar daripada parang rusak, diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Parang barong memiliki makna pengendalian diri dalam dinamika usaha yang terus-menerus, kebijaksanaan dalam gerak, dan kehati-hatian dalam bertindak.
c. Parang klitik
Motif ini adalah pola parang dengan stilasi motif yang lebih halus. Ukurannya pun lebih kecil, dan mengandung citra feminin. Parang jenis ini melambangkan kelemah-lembutan, perilaku halus dan bijaksana. Biasanya dikenakan kalangan putri istana.
d. Parang slobog
Pada motif ini motif parang menyimbolkan keteguhan, ketelitian, dan kesabaran, dan biasa digunakan dalam upacara pelantikan. Motif ini mengandung makna harapan agar pemimpin yang dilantik itu diilhami petunjuk dan kebijaksanaan dalam mengemban amanah. Bisa juga dikenakan dalam upacara kematian karena mengandung doa agar derajatnya diangkat ke tempat yang lebih terhormat.
TARI PENDET
BALI
Tari Pendet pada awalnya
merupakan tari pemujaan
yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini
melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun,
seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah
Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.
Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam
bentuk tarian upacara. Tidak
seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif,
Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan
wanita, dewasa maupun gadis.
Tarian ini diajarkan sekadar dengan mengikuti gerakan dan
jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti
gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka
dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis
daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau
berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya
menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan
masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan
perlengkapan sesajen lainnya.
Tari Pendet merupakan
salah satu tari yang tertua di antara tari Bali lainnya. Tarian ini di masa
Bali lama menjadi salah satu tarian ritual dalam pemujaan para leluhur yang
disebut ritual mamendet. Pada masa itu, tarian ini kerap digelar di halaman
pura tepat menghadap pelinggihan tempat para Bathara dan Bathari bersemayam.
1. Tema dan Makna Filosofi Sejak tahun 1950-an, tari
Pendet mengalami modifikasi setelah tersentuh 2 seniman kawakan Bali asal Desa
Sumertha, Denpasar, yakni I Wayan Eindi dan Ni Ketut Reneng. Kedua seniman yang
kemudian dianggap sebagai pencipta tari Pendet modern ini bukan hanya mengubah
beberapa gerakan dasar tarian, melainkan juga fungsi utama tarian ini. Sejak
saat itu, tari yang awalnya berfungsi sebagai ritual pemujaan beralih menjadi
berfungsi sebagai tarian penyambutan tamu.
2. Gerakan Tari Pendet Berdasarkan bagian tubuhnya,
gerakan-gerakan pada tari pendet terbagi menjadi 7 macam, yaitu gerakan kaki,
tangan, jari, badan, mimik, leher, dan mata. Gerakan kaki atau disebut
gegajalan terdiri atas gerak telapak kaki sama serong (tampak sirangpada),
berjalan (ngembang), berjalan ke muka (ngandang arep), berjalan cepat (milpil),
dan bergeser cepat (nyregseg). Gerakan tangan atau disebut pepiletan terdiri
atas gerak haluan tangan berputar ke dalam (luk nagasatru) dan haluan tangan
seiring (luk nerudut). Gerakan jari atau disebut tetangan terdiri atas gerak
Jari dicakup (Nyakupbawa) dan Melambai-lambai (Ulap-ulap). Gerakan badan atau
disebut leluwesan terdiri atas gerak pangkal lengan bergetar (Ngejatpala).
Gerakan mimik atau disebut entiah-tjerengu terdiri atas gerak riang gembira
(luru) dan tersenyum (kenjung manis). Gerakan leher atau disebut dedengkek
terdiri atas leher bergeleng halus (uluwangsul) dan menggelengkan leher dengan
keras (ngotag). Gerakan mata terdiri atas gerakan kiri dan kanan (nyeledet) dan
gerak mata berputar (ngelier). Secara umum, semua gerakan tari pendet tersebut
dapat dilakukan dengan ritme dan tempo yang berbeda-beda, bisa cepat, sedang
maupun lambat menyesuaikan bunyi musik pengiringnya.
3. Iringan Tari Sama seperti kebanyakan tari
tradisional lainnya di Indonesia, dalam pertunjukannya, tari Pendet juga
diiringi bunyi tetabuhan sebagai musik pengiring. Seperangkat gamelan Bali yang
disebut Gong Kebyar dimainkan untuk memperindah nuansa seni dalam gerak tari
yang dipertunjukan. Iringan musik Gong Kebyar pada tari pendet dimainkan sesuai
dengan ritme tarian. Saat gamelan bali dimainkan cepat, maka penari Pendet juga
bergerak dengan cepat. Begitu sebaliknya.
4. Setting Panggung Tari pendet umumnya dipentaskan
oleh 5 orang wanita dengan kostum dan properti yang seragam. Kendati begitu,
setting panggung tarian ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Di
tahun 1962, I Wayan Beratha beserta rekan-rekannya bahkan pernah mempelopori
pertunjukan tari pendet masal yang dimainkan oleh lebih dari 800 orang penari.
Pertunjukan tari pendet massal ini digelar dalam upacara pembukaan Asian Games
di Jakarta. Gerakan Tari Saman Asal Aceh Gerakan Tari Piring Asal Sumatera
Barat Gerakan Tari Jaipong Asal Sunda
5. Tata Rias dan Tata Busana Hal utama yang menjadi
ciri khas tari pendet terletak pada tata rias dan tata busana penarinya. Busana
yang dikenakan para penari pendet adalah pakaian adat Bali untuk Wanita yang
terdiri dari tapih hijau bermotif crapcap, kamen warna merah dengan motif emas,
angkin prada kuning bermotif tumpeng, serta sebuah selendang merah polos yang
dililit di pinggang. Sementara riasannya cukup banyak yaitu menggunakan subeng
(anting), rambut disasak dengan hiasan pusung gonjer, dan hiasan bunga yang
terdiri dari bunga kamboja di atas telinga kanan, bunga mawar di tengah kepala,
bunga semanggi di telinga kiri, dan bunga sandat di belakang bunga mawar dan
bunga kamboja.
6. Properti Tari Properti tari pendet yang paling
utama dan harus selalu ada dalam setiap pertunjukan adalah sebuah bokor atau
wadah tempat sesaji yang dihias khusus menggunakan janur di bagian tepinya.
Pada bokor terdapat beragam buah-buahan dan makanan sebagai simbol penghormatan
bagi para tamu yang datang.
Upacara
Adat Rambu Solo'
Tana
Toraja
Tana Toraja merupakan salah satu dari daerah di
Indonesia yang menjadi pusat perhatian dunia dan merupakan salah satu daya
tarik wisata paling populer di Pulau Sulawesi. Hal tersebut bukan hanya karena
keindahan alamnya, namun juga karena kekayaan budayanya. Tator
(sebutan tana toraja oleh wisatawan) terletak di Sulawesi Selatan.
Suku Toraja tinggal di daerah pegunungan dengan beragam budaya yang dimiliki,
salah satu budayanya yang paling terkenal ialah tradisi upacara pemakaman
(Rambu Solo).
Masyarakat Suku Toraja menganut “Aluk to dollo” atau
adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang
ditentukan nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja
banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi tradisi-tradisi leluhur
dan upacara ritual masih terus dilakukan hingga sekarang. Dalam upacara
pemakaman (Rambu Solo), masyarakat Toraja percaya jika upacara pemakaman tidak
dilakukan maka arwah orang yang meninggal akan mendatangkan musibah/kemalangan
kepada orang-orang yang ditinggalkan. Orang yang sudah meninggal hanya dianggap
seperti orang sakit, jasadnya harus terus dirawat dan diperlakukan seperti
masih hidup dengan meyediakan makanan, minuman, rokok ataupun sirih.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan
ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa
seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama
aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang
besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang
dan berlangsung selama beberapa hari.
Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau
untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak
kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara
pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang
muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para
tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga
almarhum.
Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja ada
prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakan maka semakin cepat rohnya untuk
sampai menuju nirwana.
Rambu Solo adalah upacara adat kematian
masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah
orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada
keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan,
disebut dengan Puya,yang terletak di bagian selatan tempat tinggal
manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian.
Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar
meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang
yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau
“lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu
dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman,
bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap
upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan
menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai
arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa(to-membali
puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini,
upacaraRambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara
apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk
pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia.
Kemeriahan upacara Rambu
Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur
dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih,
semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan,
jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan
warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi.
Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun
seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan
pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan
dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari
strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar
upacara ini.
Keistimewaan
Puncak dari upacara Rambu Solodisebut
dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”.
Dalam upacara Ranteini terdapat beberapa rangkaian ritual yang
selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan
jenazah (ma‘tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan
perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk
disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke
tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi
budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong),
kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih;
dan adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan
beberapa musik, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta
beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia,
pa‘papanggan, passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara
yang sangat unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu
menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang
disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule(tedong bonga) yang
harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan
yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang
mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah
panjang bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Comments
Post a Comment