Kebudayaan beserta filosofi


RUMAH KEBAYA BETAWI
PROVINSI DKI JAKARTA
Sebutan Rumah Kebaya dikarenakan bentuk atapnya yang menyerupai pelana yang dilipat dan bila dilihat dari samping lipatan-lipatan tersebut terlihat seperti lipatan kebaya.
Rumah Kebaya terbagi menjadi tiga bagian:
1.      Area Umum (Depan)
Rumah kebaya dikelilingi oleh pagar kayu atau Langkan dan identik dengan teras yang luas dan dilengkapi kursi bale-bale dari rotan, bambu, atau kayu jati yang disebut Amben. Lantai teras diberi nama Gejogan, yang memiliki simbol penghormatan kepada tamu. Bagi masyarakat Betawi, Gejogan ini dianggap sakral atau kramat karena berhubungan langsung dengan tangga masuk bernama Balaksuji, penghubung rumah dengan area luar. Balak artinya bencana sedangkan Suji artinya penyejuk. Balaksuji dapat diartikan sebagai “penyejuk” yang menghalangi bencana memasuki kehidupan penghuninya. Selain jadi tempat bersantai keluarga, teras dimanfaatkan untuk menerima tamu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam membuat hunian, suku Betawi selalu berpegang pada konsep kekeluargaan, keterbukaan, keramahan, serta hubungan sesama warga yang harmonis.



2.      Area Pribadi (Tengah)
Area pribadi ini terletak di bagian tengah yang terbagi dua bagian, Pangkeng dan ruang tidur. Umumnya setiap Rumah Kebaya memiliki ruang tidur sekitar 4 kamar dan kamar tamu atau Paseban yang didesain indah dengan ukiran. Bila kosong, Paseban biasanya dimanfaatkan sebagai mushola. Selain itu ada ruang keluarga yang biasa disebut Pangkeng. Ruang ini biasanya digunakan untuk berkumpul santai bersama keluarga di malam hari. Dinding Rumah Kebaya terbuat dari panel-panel yang dapat digeser dan dibuka. Tujuannya agar rumah terasa lebih luas dan lebih sejuk karena sirkulasi udara lancar. Lantai Rumah Kebaya biasanya lebih tinggi sedikit dari dasar tanah agar air tidak masuk ke dalam.

3.      Area Servis (Belakang)
Area yang terletak di bagian belakang yang biasanya digunakan untuk dapur atau Srondoyan. Bagian belakang rumah digunakan untuk kegiatan memasak dan biasanya juga tersedia ruang makan. Kamar mandi, pekarangan, dan gudang pun berada di area ini.

Keunikan rumah kebaya bukan hanya terletak pada konstruksi bangunannya saja. Pintu, jendela dan pagarnya pun memiliki bentuk yang menarik disertai bermacam ornamen etnik. Seperti pintu yang terdiri dari dua daun pintu yang berukuran besar, jendela intip dan jendela bulat.
Hampir setiap sudut Rumah Kebaya dipenuhi dengan ornamen Gigi Balang dan Banji. Gigi Balang yang terpengaruh kebudayaan Melayu ini adalah papan kayu yang berjejer berbentuk segitiga yang diletakkan di atap rumah. Gigi Balang sebagai simbol suku Betawi yang konsisten menjalani kehidupan dengan memegang teguh kejujuran, kerja keras, rajin, dan sabar seperti belalang yang mampu mematahkan kayu walaupun membutuhkan waktu lama. 

Sementara Banji berbentuk segi empat, pengembangan dari ornamen dasar swastika yang dipengaruhi kebudayaan Hindu. Ornamen ini memiliki makna sebagai sumber kehidupan dan terang. Diharapkan penghuni rumah memiliki pola pikir dan jiwa raga yang terang agar menjadi panutan bagi penghuni sekitarnya.
Meski kini sulit menemukan Rumah Kebaya yang masih otentik di Jakarta, Anda tetap bisa mengambil inspirasi kearifan lokalnya dan mengaplikasikannya elemen-elemennya dalam hunian Anda.


SENJATA TRADISIONAL KERIS
DIY YOGYAKARTA
JAWA TENGAH

Kata ini dapat kita jarwa dosok-kan ke dalam dua suku kata sebagaimana yang dijabarkan berikut ini. Ke … dari asal kata … kekeran, yang mempunyai arti; pagar, penghalang, peringatan atau     pengendalian. Ris …  dari asal kata …. aris, yang mempunyai arti ; tenang, lambat atau halus.
Dengan berlandaskan pada penjabaran tersebut di atas, Sang mPu sebagai pembuat keris tersebut menginginkan agar hasil karyanya itu selalu dapat “ngeker” atau memagari dan menghalangi maupun memperingatkan juga mengendalikan sang pemilik secara “aris” atau tenang dan lambat-sabar. Artinya walaupun kita mempunyai kepandaian, kekayaan dan sejenisnya, hendaknya kita tidak “grusa-grusu”  atau tergesa-gesa untuk memamerkannya pada orang lain, agar dirinya tenar dan diketahui oleh semua orang bahwa dia mempunyai kelebihan.

1. Warangka atau Rangka

Filosofi keris Jawa yang pertama, ialah warangka, rangka atau sarung keris merupakan bagian (kelengkapan) keris yang memiliki fungsi tertentu. Dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, bagian warangka inilah yang secara langsung dilihat oleh khalayak umum. Oleh karenanya, warangka ini sering dijadikan indikator status sosial dari pemegangnya.
Dari Warangka ini, kita bisa menarik pelajaran agar selalu merias diri saat ingin keluar rumah. Bagaimanapun juga, seseorang yang terlihat rapi lebih dihargai dimanapun ia berada. Tak perlu menggunakan aksesoris yang berlebih, asalkan rapih kita akan lebih berwibawa.

2. Wilah

Wilah atau wilahan merupakan bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan. Wilahan ini biasa disebut dapur. Namun penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah terbagi lagi menjadi banyak nama.
Di bagian Wilah ini, biasanya diletakan corak-corak tersendiri oleh sang pengrajin yang berfungsi untuk membedakan ataupun mengistimewakan antara keris yang satu dengan keris yang lain. Bagi sang pengrajin, proses pengerjaanya membutuhkan ketelitian tersendiri agar menghasilkan wilah yang presisi.
Ketelitian tersebut tentunya menginspirasi kita agar hidup dengan lebih teliti. Di dunia ini, banyak sekali perkara perkara yang samar dan menggoda kita untuk berbelok dari hukum yang sudah digariskan oleh sang pencipta.
Dalam filosofi keris Jawa yang kedua ini, ada pesan tersendiri yang bisa kita teladani. Yakni, jangan sampai kita merasa sedang melakukan perbaikan, tapi sebenarnya kita sedang melakukan kerusakan yang dapat membinasakan diri kita sendiri dimata sang pencipta dan dimata manusia.

3. Luk

Luk merupakan bagian dari keris yang bentuknya berkelok dari wilah-bilah keris. Dan bila dilihat dengan seksama, bentuknya bisa dibagi kedalam dua golongan besar. Yakni keris yang memiliki Luk lurus serta keris yang bilahnya agak berkelok-kelok atau luk. Masing-masing jenisnya memiliki ciri khas. Sehingga bisa dengan mudah dikenali, dan digunakan oleh para pemakainya.
Begitu juga dengan manusia. Filosofi keris Jawa yang terakhir ini mengajarkan kita agar seharusnya memiliki ciri khas tersendiri. Salah satunya, dengan menempuh pendidikan, sertifikat, gelar di universitas ataupun sebagainya.
Bila kita sudah memiliki ciri khas tadi, kita akan lebih mudah mengabdikan diri kita untuk masyarakat, mencari pekerjaan yang halal, dan dapat berkompetisi secara sehat di dunia pekerjaan.

BATIK PARANG SOLO
JAWA TENGAH






Motif batik parang pada dasarnya tergolong sederhana, berupa lilitan leter S yang jalin-menjalin membentuk garis diagonal dengan kemiringan 45 derajat. Namun, filosofi yang terkandung di dalamnya tidak sesederhana motifnya. Ada ajaran-ajaran keutamaan yang terkandung di dalamnya.
Parang berasal dari kata pereng, yang berarti lereng. Perengan menggambarkan sebuah garis menurun dari tinggi ke rendah secara diagonal. Susunan motif leter S jalin-menjalin tidak terputus melambangkan kesinambungan. Bentuk dasar leter S diambil dari ombak samudra yang menggambarkan semangat tidak pernah padam.
Motif ini merupakan salah satu motif dasar yang paling tua. Di masa lalu, motif parang sangat dikeramatkan dan hanya dipakai oleh kalangan tertentu, serta dalam acara-acara tertentu saja. Misalnya, digunakan oleh senapati keraton yang pulang dari berperang dengan membawa kemenangan. Batik parang digunakan untuk memberi kabar gembira kepada raja.
Perkembangan dewasa ini, motif parang mengalami banyak modifikasi, stilasi, atau bahkan penggabungan dengan motif lain sehingga menghasilkan motif baru yang tak kalah menarik
.
Filosofi Batik Parang
Batik parang memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi berupa petuah agar tidak pernah menyerah sebagaimana ombak laut yang tak pernah berhenti bergerak. Batik parang pun menggambarkan jalinan yang tidak pernah putus, baik itu dalam arti upaya memperbaiki diri, upaya memperjuangkan kesejahteraan, maupun bentuk pertalian keluarga di mana batik parang di masa lalu merupakan hadiah dari bangsawan kepada anak-anaknya.
Dalam konteks tersebut, motif parang mengandung petuah dari orang tua agar melanjutkan perjuangan yang telah dirintis. Garis lurus diagonal melambangkan rasa hormat dan keteladanan, serta kesetiaan pada nilai-nilai kebenaran.
Aura dinamis dalam motif ini juga menganjurkan kecekatan, kesigapan, dan kesinambungan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Artinya, tidak ada kata berhenti. Begitu menyelesaikan satu pekerjaan, segeralah berlanjut kepada pekerjaan berikutnya.
Batik parang biasa digunakan dalam upacara pelantikan. Misalnya seorang senapati yang hendak berangkatperang, dilantik oleh raja di pendopo atau alun-alun, dengan harapan pulang membawa kemenangan. Dewasa ini, motif parang digunakan dalam wisuda sarjana, penganugerahan bintang tanda jasa atau penghargaan dalam lomba.
Motif parang juga sering ditemukan dalam dunia pendidikan dalam bentuk kover buku, seragam, piala, dan sebagainya karena secara ekspilisit motif parang juga memiliki makna kecerdasan.
Sangat jarang motif parang digunakan untuk menghadiri upacara pernikahan. Apalagi digunakan sebagai busana pengantin. Kalangan masyarakat Jawa menganggap, menggunakan motif parang sebagai busana pernikahan akan menyebabkan rumahtangganya nanti dipenuhi percekcokan.
Dalam acara semacam ini biasanya digunakan motif lain seperti motif semen yang mengandung arti kesuburan, atau motif truntum dan kawung yang mengandung makna kebijaksanaan, motif sidomukti, sidoasih, atau sidoluhur dan sejenisnya yang mengambil motif sulur-suluran.

Jenis-Jenis Batik Parang
Motif batik parang sudah dikenal sejak zaman awal Keraton Mataram Kartasura. Pada saat itu, misalnya, terdapat motif parang rusak, parang barong, parang rusak barong, parangkusumo, parang pamor, parang klithik, parang slobog, dan sebagainya.
Beberapa yang bisa dikenali falsafah yang terkandung di dalamnya, misalnya:
a.    Parang rusak
Motif ini merupakan motif batik yang diciptakan Panembahan Senopati saat bertapa di Pantai Selatan. Terinspirasi dari ombak yang tidak pernah lelah menghantam karang pantai.
b.    Parang barong
Adalah motif parang yang ukuran motifnya lebih besar daripada parang rusak, diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Parang barong memiliki makna pengendalian diri dalam dinamika usaha yang terus-menerus, kebijaksanaan dalam gerak, dan kehati-hatian dalam bertindak.
c.    Parang klitik
Motif ini adalah pola parang dengan stilasi motif yang lebih halus. Ukurannya pun lebih kecil, dan mengandung citra feminin. Parang jenis ini melambangkan kelemah-lembutan, perilaku halus dan bijaksana. Biasanya dikenakan kalangan putri istana.
d.    Parang slobog
Pada motif ini motif parang menyimbolkan keteguhan, ketelitian, dan kesabaran, dan biasa digunakan dalam upacara pelantikan. Motif ini mengandung makna harapan agar pemimpin yang dilantik itu diilhami petunjuk dan kebijaksanaan dalam mengemban amanah. Bisa juga dikenakan dalam upacara kematian karena mengandung doa agar derajatnya diangkat ke tempat yang lebih terhormat.


TARI PENDET
BALI
Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi 
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.
Tarian ini diajarkan sekadar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangkukendicawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.
Tari Pendet merupakan salah satu tari yang tertua di antara tari Bali lainnya. Tarian ini di masa Bali lama menjadi salah satu tarian ritual dalam pemujaan para leluhur yang disebut ritual mamendet. Pada masa itu, tarian ini kerap digelar di halaman pura tepat menghadap pelinggihan tempat para Bathara dan Bathari bersemayam.
1. Tema dan Makna Filosofi Sejak tahun 1950-an, tari Pendet mengalami modifikasi setelah tersentuh 2 seniman kawakan Bali asal Desa Sumertha, Denpasar, yakni I Wayan Eindi dan Ni Ketut Reneng. Kedua seniman yang kemudian dianggap sebagai pencipta tari Pendet modern ini bukan hanya mengubah beberapa gerakan dasar tarian, melainkan juga fungsi utama tarian ini. Sejak saat itu, tari yang awalnya berfungsi sebagai ritual pemujaan beralih menjadi berfungsi sebagai tarian penyambutan tamu.
2. Gerakan Tari Pendet Berdasarkan bagian tubuhnya, gerakan-gerakan pada tari pendet terbagi menjadi 7 macam, yaitu gerakan kaki, tangan, jari, badan, mimik, leher, dan mata. Gerakan kaki atau disebut gegajalan terdiri atas gerak telapak kaki sama serong (tampak sirangpada), berjalan (ngembang), berjalan ke muka (ngandang arep), berjalan cepat (milpil), dan bergeser cepat (nyregseg). Gerakan tangan atau disebut pepiletan terdiri atas gerak haluan tangan berputar ke dalam (luk nagasatru) dan haluan tangan seiring (luk nerudut). Gerakan jari atau disebut tetangan terdiri atas gerak Jari dicakup (Nyakupbawa) dan Melambai-lambai (Ulap-ulap). Gerakan badan atau disebut leluwesan terdiri atas gerak pangkal lengan bergetar (Ngejatpala). Gerakan mimik atau disebut entiah-tjerengu terdiri atas gerak riang gembira (luru) dan tersenyum (kenjung manis). Gerakan leher atau disebut dedengkek terdiri atas leher bergeleng halus (uluwangsul) dan menggelengkan leher dengan keras (ngotag). Gerakan mata terdiri atas gerakan kiri dan kanan (nyeledet) dan gerak mata berputar (ngelier). Secara umum, semua gerakan tari pendet tersebut dapat dilakukan dengan ritme dan tempo yang berbeda-beda, bisa cepat, sedang maupun lambat menyesuaikan bunyi musik pengiringnya.
3. Iringan Tari Sama seperti kebanyakan tari tradisional lainnya di Indonesia, dalam pertunjukannya, tari Pendet juga diiringi bunyi tetabuhan sebagai musik pengiring. Seperangkat gamelan Bali yang disebut Gong Kebyar dimainkan untuk memperindah nuansa seni dalam gerak tari yang dipertunjukan. Iringan musik Gong Kebyar pada tari pendet dimainkan sesuai dengan ritme tarian. Saat gamelan bali dimainkan cepat, maka penari Pendet juga bergerak dengan cepat. Begitu sebaliknya.
4. Setting Panggung Tari pendet umumnya dipentaskan oleh 5 orang wanita dengan kostum dan properti yang seragam. Kendati begitu, setting panggung tarian ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Di tahun 1962, I Wayan Beratha beserta rekan-rekannya bahkan pernah mempelopori pertunjukan tari pendet masal yang dimainkan oleh lebih dari 800 orang penari. Pertunjukan tari pendet massal ini digelar dalam upacara pembukaan Asian Games di Jakarta. Gerakan Tari Saman Asal Aceh Gerakan Tari Piring Asal Sumatera Barat Gerakan Tari Jaipong Asal Sunda
5. Tata Rias dan Tata Busana Hal utama yang menjadi ciri khas tari pendet terletak pada tata rias dan tata busana penarinya. Busana yang dikenakan para penari pendet adalah pakaian adat Bali untuk Wanita yang terdiri dari tapih hijau bermotif crapcap, kamen warna merah dengan motif emas, angkin prada kuning bermotif tumpeng, serta sebuah selendang merah polos yang dililit di pinggang. Sementara riasannya cukup banyak yaitu menggunakan subeng (anting), rambut disasak dengan hiasan pusung gonjer, dan hiasan bunga yang terdiri dari bunga kamboja di atas telinga kanan, bunga mawar di tengah kepala, bunga semanggi di telinga kiri, dan bunga sandat di belakang bunga mawar dan bunga kamboja.
6. Properti Tari Properti tari pendet yang paling utama dan harus selalu ada dalam setiap pertunjukan adalah sebuah bokor atau wadah tempat sesaji yang dihias khusus menggunakan janur di bagian tepinya. Pada bokor terdapat beragam buah-buahan dan makanan sebagai simbol penghormatan bagi para tamu yang datang.


Upacara Adat Rambu Solo'
Tana Toraja

Tana Toraja merupakan salah satu dari daerah di Indonesia yang menjadi pusat perhatian dunia dan merupakan salah satu daya tarik wisata paling populer di Pulau Sulawesi. Hal tersebut bukan hanya karena keindahan alamnya, namun juga karena kekayaan budayanya. Tator (sebutan tana toraja oleh wisatawan) terletak di Sulawesi Selatan. Suku Toraja tinggal di daerah pegunungan dengan beragam budaya yang dimiliki, salah satu budayanya yang paling terkenal ialah tradisi upacara pemakaman (Rambu Solo).
Masyarakat Suku Toraja menganut “Aluk to dollo” atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dilakukan hingga sekarang. Dalam upacara pemakaman (Rambu Solo), masyarakat Toraja percaya jika upacara pemakaman tidak dilakukan maka arwah orang yang meninggal akan mendatangkan musibah/kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkan. Orang yang sudah meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, jasadnya harus terus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan meyediakan makanan, minuman, rokok ataupun sirih.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.


Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam  roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah  tempat peristirahatan, disebut dengan Puya,yang terletak di bagian  selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara  penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang  “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang  hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan  minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara  ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi  arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa(to-membali puang), atau menjadi dewa  pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacaraRambu Solo menjadi  sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan  mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal  dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan  oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang  dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.  Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara  24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah  50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi  berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat  pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja  dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar  upacara ini.

Keistimewaan

Puncak dari upacara Rambu Solodisebut  dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Ranteini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu  menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan,  mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi  budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan  adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa  musik, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta  beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan,  passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara  yang sangat unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas  leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule(tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang  bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.


                                        DAFTAR PUSTAKA


Comments

Popular Posts